RSS

Mengenal Etika Bisnis

08 Okt

A.   Pengertian Etika Bisnis

Menurut Velasques (2002), Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis.

Menurut Yosephus (2010:79), Etika bisnis secara hakiki merupakan Applied Ethic (etika terapan). Etika bisnis merupakan wilayah penerapan prinsip-prinsip moral umum pada wilayah tindak manusia di bidang ekonomi. khususnya bisnis. Jadi secara hakiki sasaran etika bisnis adalah perilaku moral pebisnis yang berkegiatan ekonomi.

Menurut Barbara Pachter penulis buku The Essentials Of Business Etiquette menulis tentang sejumlah kemampuan khusus yang harus perlu dipahami para profesional sebelum terjun ke dalam bisnis tertentu yaitu :

1.   Sebutkan nama lengkap anda

Dalam situasi bisnis, Anda sebaiknya menyebutkan nama lengkap Anda saat berkenalan. Namun    jika nama Anda  terlalu panjang atau sulit diucapkan, Anda lebih baik sedikit menyingkatnya.

2.   Berdirilah saat memperkenalkan diri

Berdiri saat mengenalkan diri Anda akan menegaskan kehadiran Anda. Jika kondisinya tidak memungkinkan Anda untuk berdiri, setidaknya mundurkan kursi, dan sedikit membungkuk agar orang lain menilai positif kesopanan Anda.

3.   Ucapkan Terima Kasih

Dalam percakapan bisnis dengan siapapun, bos atau mitra perusahaan, Anda hanya perlu mengucapkan terima kasih satu atau dua kali. Jika Anda mengatakannya berlebihan, orang lain akan memandang Anda sangat memerlukannya dan sangat perlu bantuan.

4.   Sebarkan ucapan terima kasih lewat email setelah pertemuan bisnis

Setelah Anda menyelesaikan pertemuan bisnis, kirimkan ucapan terima kasih secara terpisah ke email pribadi rekan bisnis Anda. Pengiriman lewat email sangat disarankan, mengingat waktu tibanya akan lebih cepat

5.   Jangan duduk sambil menyilang kaki

Tak hanya wanita, para pria pun senang menyilangkan kakinya saat duduk. Namun untuk kondisi kerja, posisi duduk  seperti ini cenderung tidak sopan. Selain itu, posisi duduk seperti ini juga bisa berpengaruh negatif pada kesehatan Anda.

6.   Tuan rumah yang harus membayar

Jika Anda mengundang rekan bisnis Anda untuk makan di luar, maka Anda yang harus membayar tagihan. Lalu bagaimana jika Anda seorang perempuan, sementara rekan bisnis atau klien Anda, laki-laki, dan ingin membayar? Anda tetap harus menolaknya. Anda bisa mengatakan, perusahaan yang membayarnya dan itu bukan uang pribadi Anda.

B.   Teori Etika BIsnis 

Menurut Yosephus (2010), beberapa teori etika bisnis sebagai berikut :

 1.   Teori Kabahagiaan

Teori kebahagiaan mencakup hedonisme dan utilitarisme. Baik hedonisme maupun utilitarisme sama-sama merupakan teori etika normatif yang mempersoalkan tujuan hidup manusia. Secara umum, baik penganut hedonisme maupun utilitarisme sependapat bahwa kebahagiaan merupakan satu-satunya tujuan hidup semua manusia, maka prinsip pokok  yang mendasari setiap perilaku manusia adalah bagaimana mencapai kebahagiaan sebagai satu-satunya tujuan hidup.

   2.   Utiliarisme

Utilitarisme berasal dari kata utilis dalam bahasa Latin yang berarti berguna atau berfaedah. Menurut utilitarisme, suatu perbuatan atau tindakan adalah baik jika tindakan tersebut bermanfaat atau berguna. Persoalannya berguna atau bermanfaat untuk siapa dan dalam kondisi seperti apa? Pada pertannyaan seperti itu, kaum utilitarisme menjawab bahwa suatu perbuatan atau tindakan adalah baik jika berguna atau bermanfaat bagi si pelaku maupun bagi semua orang yang terkena dampak dari perbuatan atau tindakan itu.
Sebagai teori etika, utilitarisme sering disebut the greatest happiness theory atau teori kebahagian terbesar. Dibedakan antara utilitarisme tindakan dan utilitarisme peraturan, tergantung apakah kriteria utilitaristik itu ditetapkan pada tindakan atau pada peraturan.

Prinsip yang dipegang teguh oleh utilitarisme tindakan adalah: “bertindaklah sedemikian rupa, sehingga tindakanmu itu menghasilkan kebaikan terbesar bagi sebanyak mungkin orang”. “Bertindaklah menurut peraturan yang pelaksanaannya akan menghasilkan kebaikan atau kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang”. Maksudnya suatu tindakan adalah baik secara moral jika menghasilkan kebaikan atau kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang yang terkena dampak dari tindakan tersebut. Secara psikologis, kedua penguasa tersebut memberikan perasaan-perasaan tertentu, maka yang terjadi bagi manusia dalam kehidupan nyata adalah menghindari pahit, atau rasa sakit atau mendekatkan diri kepada pleasure (rasa nikmat). Kebahagiaan akan tercipta jika manusia mendekatkan dirinya pada rasa nikmat atau menjauhkan diri dari rasa sakit.

Ada sejumlah art mill ini. Pertama-tama, John Stuart Mill (1806-1873) dalam (Yosephus,2010:93) mengkritik gagasan Jeremy Bentham. Menurut Stuart Mill, karena ada tingkatan dalam kesenangan atau kebahagiaan, maka aspek kualitas dari kesenangan atau mutlak perlu diperhatikan. Apalagi kualitas kesenangan manusia pasti menegaskan “it is better to be a human being dissatisfied than a pig satisfied, better to be socrate than a fool satisfied.” Menurut Stuart Mill, lebih baik menjadi seorang manusia yang tidak puas dari pada menjadi seekor babi yang puas, lebih baik menjadi Socrates yang tidak puas dari pada seorang tolol yang puas dan kita harus bertindak demikian rupa agar tindakan kita menghasilkan akibat baik sebesar mungkin bagi jumlah orang sebanyak mungkin.

Dengan penegasan itu, Stuart Mill menggaris-bawahi kebahagiaan masing-masing atau kebahagiaan semua orang yang terlibat dalam satu orang. Maksudnya suatu tutur kata atau tindakan adalah baik secara moral, jika menghasilkan lebih besar kebahagiaan dari pada penderitaan. Hal itu harus diukur dari pengalaman semua orang yang melakukan tindakan tersebut, bukan satu orang yang terlibat dalam tindakan itu. Dengan gagasan itu, Stuart Mill tidak hanya memperbaiki gagasan utilitarisme Jeremy Bentham, melainkan juga memperkokohnya. Itulah alasannya mengapa utilitarisme Stuart Mill sebagai “utilitarianisme”, bukan utilitarisme Jeremy Bentham (1748-1832).   Secara kodrati, manusia telah ditempatkan di bawah dua penguasa yang berdaulat, yakni : rasa sakit dan rasa nikmat. Dengan kata lain, Bentham menegaskan bahwa dalam keseharian hidup manusia selalu berada di antara kedua penguasa tersebut.

3.   Hedonisme

Hedonism berasal dari kata hedone dalam bahasa Yunani yang berarti ”nikmat atau kegembiraan”. Sebagai paham teori   moral, hedonisme bertolak dari asumsi dasar bahwa manusia hendaknya berperilaku sedemikian rupa agar hidupnya bahagia. Dengan singkat namun tegas, kaum hedonisme merumuskan : “carilah nikmat dan hindarilah rasa sakit!”. Berdasarkan rumusan ini, bagaimana hedonism (terutama Aristippos dan Epikuros) memaknai hidup. Bagi mereka hidup adalah upaya menjauhi rasa sakit dan mendekatkan diri pada rasa nikmat.

Motivasi yang paling kuat di balik tujuan-tujuan yang luhur, seperti: penegakan kebenaran dan keadilan serta tujuan-tujuan suci, misalnya penyebaran iman, bahwa dalam melakukan kegiatan apapun juga secara kodrati manusia selalu tergerak mencari dan mendapatkan kenikmatan hidup. Sebuah penipuan diri dan kemunafikan jika ada orang yang mengatakan segala kegiatannya ditunjukkan demi cita-cita luhur atau demi membantu atau menolong orang-orang lain. Jadi, menurut paham hedonism psikologis, manusia itu pada dasarnya sangat egois karena segala tindakannya hanya ditunjukkan untuk mendapatkan kenikmatan dirinya sendiri.

Epikus (341-270 SM) memandang kenikmatan sebagai tujuan hidup manusia dan secara kodrati manusia selalu tergerak untuk mencari kenikmatan bagi dirinya sendiri. Hal itu disebabkan secara fisik, tubuh manusia merupakan dasar sekaligus akar dari segala kenikmatan manusiawi. Menurut Epikus, ada tiga jenis keinginan dalam diri manusia yang dapat memotivasi seseorang mengupayakan kenikmatan, yaitu : (1) Keinginan alamiah yang mutlak perlu, seperti keinginan untuk makan dan minum. Keinginan alamiah seperti ini selalu berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan yang paling primer dari manusia, (2) Keinginan alamiah yang dapat ditunda, misalnya keinginan untuk makan enak atau keinginan untuk mendapatkan televisi baru yang lebih besar padahal sudah memiliki televisi kecil, (3) Keinginan yang sia-sia atau keinginan yang belum pasti realisasinya, seperti ingin menjadi kepala negara atau ingin memiliki lukisan karya Leonardo da Vinci.

Epikos menganjurkan agar manusia selalu memandang kehidupan sebagai sesuatu keseluruhan yang terdiri dari masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Epikos telah menyatu dalam satu keinginan saja yang sekaligus mencirikan derap jelajah bisnis kontemporer, yaitu meraup keuntungan sebesar-besarnya dalam tempo sesingkat-singkatnya. Upaya meraup keuntungan kini telah bergeser dari upaya-upaya yang bersifat co-speed menjadi co-present. Semua strategi bisnis kontemporer sebagaimana dapat ditelusuri melalui analisis jitu terhadap akurasi penetapan SWOT dan SWAN menunjukkan bahwa maximizing profit telah menjadi tujuan, sekaligus mengilhami dan memotivasi para pebisnis kontemporer untuk memenuhi keinginan para pembisnis kontemporer ”to have more”. Pada tatanan ini, menjadi orang bijak yang menurut sang hedonis, Epikos lalu menjadi sesuatu yang hampir tidak mungkin dicapai oleh para pebisnis kontemporer.

   4.   Teori Kewajiban (Deontologisme)

Teori deontology justru mengukur baik atau buruknya suatu tindakan dari segi wajib dan tidaknya perbuatan tersebut dilakukan. Kata “deon” (Yunani) dari istilah deontology berarti kewajiban atau apa yang wajib dilakukan. Sistem atau teori  moral ini pertama kali diajukan oleh filsuf-etikawan Jerman, Immanuel Kant (1724-1904).
Menurut Immanuel Kant inti ajaran deontology yang disebut baik dalam arti yang sesungguhnya, hanyalah “good will”  atau kehendak baik. Jadi, good will, hanya bisa dikatakan baik jika memenuhi persyaratan tertentu. Pada tataran ini, politik, bisnis, kepandaian, atau kekuasaan adalah good will atau kehendak baik.
Menurut Kant, kehendak itu menjadi baik, kalau yang menjadi dasar dari suatu tindakan adalah kewajiban. Dengan demikian Kant menggaris-bawahi, bahwa suatu perbuatan secara moral adalah baik jika orang yang melakukannya menghormati atau menghargai hukum moral. Hukum moral yang dimaksudkan Kant adalah kewajiban seorang berkehendak baik jika ia hanya menghendaki untuk melakukan yang wajib baginya. Apa yang wajib baginya, yaitu: Pertama, ia dapat memenuhi kewajibannya karena hal itu menguntungkan dirinya, misalnya mendapatkan nama baik atau penghargaan dari orang lain. Kedua, ia melaksanakan kewajibannya karena merasa adanya dorongan langsung  dalam hatinya untuk melakukan hal itu, misalnya membantu orang yang mengalami musibah karena terdorong oleh rasa belas kasihan atau rasa iba yang merupakan dorongan langsung dari dalam hatinya. Ketiga, ia melakukan kewajibannya karena ia mau memenuhi apa yang menjadi kewajibannya.
Bagi Immanuel Kant, satu-satunya kriteria untuk kewajiban moral adalah imperative kategoris yang berbunyi:  ”bertindaklah secara moral!” imperative disini berarti perintah yang bernada wajib (das sollen) bukan permintaan, pertama imperative hipotesis, yakni perintah atau keharusan bersyarat, misalnya kalau ingin mempunyai uang, bekerjalah. Kedua imperative tanpa syarat.

    5.   Teori Keutamaan (virtue ethic)

Apapun pekerjaan dan profesinya selalu ingin menjadi orang menjadi kuat secara moral yang berarti memiliki kepribadian yang mantap sehingga selalu sanggup bertindak sesuai dengan apa yang diyakini sebagai baik dan benar. Kepribadian yang kuat dan mantap secara moral disebut “keutamaan moral”.

Beberapa keutamaan moral yaitu :

a.   Kejujuran

Secara umum kejujuran diakui sebagai keutamaan atau sikap moral pertama sekaligus terpenting yang harus dimiliki oleh setiap orang, khususnya para pebisnis sebagai makhluk beretika, sampai saat ini diakui bahwa kejujuran identik dengan kesesuaian antara kata-kata atau ucapan dengan fakta atau perbuatan. Dalam praksis hidup, orang lebih cenderung memaknai kejujuran dalam format negatif seperti tidak berbohong atau tidak menipu. Seorang pebisnis kontemporer disebut “orang jujur” jika segala perkataan yang diucapkan, termsuk janji-janjinya sesuai dengan fakta atau tindakannya, yakni menepati janji-janjinya. Apa yang dijanjikan dalam kontrak atau kesepakatan (transaksi) entah dengan pihak luar (mitra bisnis dan pelanggan konsumen) atau dengan pihak dalam perusahaan (KKB) selalu ditepati.
Pebisnis yang jujur tentu akan menganggap kebohongan sebagai sesuatu yang tabu untuk dilakukan, sebab kejujuran kerap dirasakan sebagai sesuatu yang sangat mahal.

b.   Kepercayaan

Sebagai keutamaan yang wajib dimiliki oleh para pebisnis kontemporer, kepercayaan selalu bersifat timbal balik. Maksudnya, pembisnis yang selalu percaya kepada pihak lain mengandaikan bahwa pihak-pihak lain, apakah karyawan atau mitra bisnis dan pelanggan akan mempercayainya juga. Ciri timbal balik dalam hal kepercayaan juga menuntut sikap kritis dari seorang pebisnis. Implikasinya, seorang pembisnis memang harus bersikap selektif dalam memilih mitra bisnis, termasuk menyeleksi dan memilih karyawan atau stafnya.
Tujuan mengendalikan strategi dan taktik merupakan hal-hal yang sangat menentukan bagi keberhasilan sebuah bisnis untuk mencapai tujuan tersebut. Pada tatanan strategi dan taktik inilah sikap-sikap moral yang kuat, khususnya kepercayaan selalu mendapatkan tanggapan berat. Kesamaan tujuan mengindikasikan bahwa sikap yang bertentangan dengan kepercayaan bukan tabu untuk dilakukan oleh pebisnis kontemporer. Pada tatanan ini, ”selektivitas” dalam memilih mitra bisnis atau dalam menerima karyawan merupakan kata kunci yang tidak bisa ditawar-tawar.

c.   Tanggung Jawab

Sebagai keutamaan moral, tanggungjawab pertama-tama merupakan sikap terhadap tugas yang membebani seorang  pebisnis dan karyawan atau stafnya. Baik pengusaha maupun karyawan merasa terikat untuk melaksanakan dan menyelesaikan tugas yang dipercayakan atau yang diemban. Dalam implikasinya, tanggung jawab tidak pernah memberi ruang untuk sikap-sikap, seperti malas, acuh tak acuh, dan ragu-ragu. Sikap tanggungjawab menuntut bahwa sesuatu itu dilakukan dan diselesaikan dengan sebaik-baiknya.

Dalam bahasa moral, tugas yang dilakukan secara bertanggungjawab disebut sebagai tugas mulia karena harus dilakukan dengan sebaik-baiknya, termasuk jika tidak ada yang melihat atau mengawasi pelaksanaannya. Di sini, kesediaan untuk bertanggung jawab merupakan entry-point yang dapat mengantarkan seseorang ke singgasana moralitas sebagai good risk-taker.

Tugas yang dilakukan secara bertanggung jawab merupakan tugas mulia karena harus dilakukan dengan sebaik-baiknya, meskipun tidak ada pimpinan yang melihat atau supervisor yang mengawasi pelaksanaannya adalah sama dengan mengatakan bahwa secara hakiki tanggungjawab mengatasi etika peraturan yang pada dirinya sendiri tak terpisahkan dari pengawasan atau pengontrolan. Pada tatanan ini, wawasan orang, apakah manajer atau karyawan yang selalu bersedia untuk bertanggungjawab atas tugas yang dipercayakan kepadanya bersifat tak terbatas. Mereka merasa bertanggung jawab kapan dan di mana pun berada. Pebisnis, manajer, dan karyawan yang memiliki sikap  seperti ini merupakan pribadi-pribadi yang selalu bersikap positif, kreatif, kritis, dan objektif terhadap kondisi riil perusahaan.
Selanjutnya pribadi-pribadi yang bertanggungjawab pastilah orang-orang yang selalu bersedia dimintai dan memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugas dan kewajiban, termasuk jika mereka lalai dalam pelaksanaan tugas dan tanggungjawab. Orang-orang yang bertanggung-jawab selalu siap menjadi good risk-taker. Mereka tidak pernah melemparkan tanggungjawab.

d.   Keberanian Moral

Keberanian moral selalu berkaitan dengan kemampuan intelektual untuk menentukan penilaian sendiri terhadap sesuatu. Keberanian moral terlihat dengan sangat jelas ketika mereka menolak tegas untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma moral dan hukum yang ditawarkan kepada mereka, meskipun mereka sebenarnya membutuhkan atau ada kesempatan yang memadai untuk melakukan hal itu, misalnya kesempatan untuk melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme atau mengambil keuntungan pribadi walaupun untuk penolakan dalam hal-hal seperti itu mereka akan dikucilkan atau dicela oleh yang lain.
Orang yang memiliki keberanian moral selalu menjadikan dirinya sendiri pijakan bagi kaum yang lemah, atau yang menderita karena tingkah serta tindakan kelompok kuat atau pihak yang berkuasa.

e.   Fairness

Sering orang mengidentikkan dengan “rasa adil”, namun ketika diterapkan ternyata tidak sama dengan keadilan. Terkadang juga diidentikkan dengan sikap sportif, ketika diterapkan dalam kondisi konkret ternyata tidak juga persis sama dengan sportifitas. Sesuatu kondisi yang persis mewakili pengertian istilah fairness adalah “kesediaan memberikan apa yang patut diberikan kepada semua orang”. Pada tatanan bisnis, kata “patut” di sini menunjuk kepada apa yang dapat diterima atau disetujui oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu transaksi bisnis.
Seorang pebisnis dapat dikategorikan sebagai seorang yang memiliki keutamaan ini jika pebisnis tersebut selalu bersedia memberikan apa yang patut diberikan kepada pihak lain, apakah karyawan, pemasok, dan pelanggan dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban. Sebaliknya, pebisnis yang berkeutamaan moral seperti ini selalu bersedia menerima apa yang patut diterima dari pihak lain, misalnya menerima hasil pekerjaan yang telah dipercayakan kepada karyawannya. Itulah indikasi keutamaan fairness yang patut dimiliki oleh seorang pebisnis kontemporer yang berkepribadian moral yang kuat. Pebisnis seperti itu tidak hanya bersikap selalu realistik memainkan tetapi juga kritis dalam melaksanakan bisnisnya.

f.   Realistik Kritis

Keutamaan sikap moral ”realistik” dan “kritis” lebih berkaitan dengan wilayah kognitif atau wilayah intelektual manusia, termasuk para pebisnis kontemporer. Dalam proses bisnis, setiap pengusaha akan menghadapi berbagai macam orang dengan berbagai latar belakang, seperti sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, agama dan sebagainya. Dalam keberagaman itu para manajer dan karyawan memiliki harapan, komitmen dan tingkat loyalitas yang berbeda.
Dalam menghadapi keberagaman latar seperti itu, seorang pembisnis terpanggil untuk bertanggungjawab terhadap hidup mereka. Para manajer dan karyawan yang berasal dari latar belakang berbeda adalah identik dengan menegaskan orang-orang seperti itu (manajer dan karyawan) adalah orang-orang riil. Konsekuensinya, seorang pebisnis kontemporer harus berlaku riil dalam tanggungjawabnya terhadap mereka. Pembisnis wajib membuka mata fisik dan  mata pikiran terhadap realita yang ada, baik yang menyangkut perusahaan atau usahanya maupun menyangkut kondisi riil manajer dan karyawannya. Dengan cara seperti itu seorang pebisnis kontemporer yang baik secara moral akan melaksanakan tanggung-jawabnya dengan baik. Seorang pebisnis kontemporer harus bersikap realitis dalam tutur kata dan tindakannya, bukan bersembunyi dibalik ungkapan-ungkapan yang kabur maknanya.

g.   Rendah Hati

Pertama-tama harus digaris bawahi bahwa sikap moral dan rendah hati tidak ada sangkut pautnya dengan “rasa sungkan” kepada atasan atau rekan kerja yang lebih tua usianya, enggan untuk membela suatu pendirian atau merendahkan diri ke kuasa pimpinan. Seseorang melihat dirinya sendiri apa adanya, apakah sebagai karyawan, manajer atau sebagai pimpinan puncak sebuah bisnis. Dalam konteks bisnis kontemporer, sikap rendah hati merupakan kekuatan batin yang membuat semua pihak yang terlibat untuk melihat diri dan menampilkan dirinya apa adanya.

h.   Hormat Kepada Diri Sendiri dan Diri-diri lain

Sebagai keutamaan moral, hormat terhadap diri sendiri atau orang lain merujuk kepada suatu kewajiban yang sebenarnya ditujukan kepada diri sendiri dan terhadap orang lain. Hormat terhadap diri sendiri dan orang lain atau sesama berarti bahwa manusia wajib memperlakukan dirinya sendiri dan orang lain sebagai bernilai. Hal ini didasarkan pada prinsip umum bahwa manusia merupakan pusat dari segala pengertian, kehendak, memiliki kebebasan, dan suara hati serta merupakan insan yang berakal budi.

C.   Model Etika dalam Bisnis

       1.   Immoral Manajemen
Immoral manajemen merupakan tingkatan terendah dari model manajemen dalam menerapkan prinsip-prinsip etika bisnis. Manajer yang memiliki manajemen tipe ini pada umumnya sama sekali tidak mengindahkan apa yang dimaksud dengan moralitas, baik dalam internal organisasinya maupun bagaimana dia menjalankan aktivitas bisnisnya. Para pelaku bisnis yang tergolong pada tipe ini, biasanya memanfaatkan kelemahan-kelemahan dan kelengahan-kelengahan dalam komunitas untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri, baik secara individu atau kelompok mereka. Kelompok manajemen ini selalu menghindari diri dari yang disebut etika. Bahkan hukum dianggap sebagai batu sandungan dalam menjalankan bisnisnya.

      2.   Amoral Manajemen 
Tingkatan kedua dalam aplikasi etika dan moralitas dalam manajemen adalah amoral manajemen. Berbeda dengan immoral manajemen, manajer dengan tipe manajemen seperti ini sebenarnya bukan tidak tahu sama sekali etika atau moralitas. Ada dua jenis lain manajemen tipe amoral ini, yaitu Pertama, manajer yang tidak sengaja berbuat amoral (unintentional amoral manager). Tipe ini adalah para manajer yang dianggap kurang peka, bahwa dalam segala keputusan bisnis yang diperbuat sebenarnya langsung atau tidak langsung akan memberikan efek pada pihak lain. Oleh karena itu, mereka akan menjalankan bisnisnya tanpa memikirkan apakah aktivitas bisnisnya sudah memiliki dimensi etika atau belum. Manajer tipe ini mungkin saja punya niat baik, namun mereka tidak bisa melihat bahwa keputusan dan aktivitas bisnis mereka apakah merugikan pihak lain atau tidak. Tipikal manajer seperti ini biasanya lebih berorientasi hanya pada hukum yang berlaku, dan menjadikan hukum sebagai pedoman dalam beraktivitas. Kedua, tipe manajer yang sengaja berbuat amoral. Manajemen dengan pola ini sebenarnya memahami ada aturan dan etika yang harus dijalankan, namun terkadang secara sengaja melanggar etika tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bisnis mereka, misalnya ingin melakukan efisiensi dan lain-lain. Namun manajer tipe ini terkadang berpandangan bahwa etika hanya berlaku bagi kehidupan pribadi kita, tidak untuk bisnis. Mereka percaya bahwa aktivitas bisnis berada di luar dari pertimbangan-pertimbangan etika dan moralitas.

Widyahartono (1996:74) mengatakan prinsip bisnis amoral itu menyatakan “bisnis adalah bisnis dan etika adalah etika, keduanya jangan dicampur-adukkan”. Dasar pemikirannya sebagai berikut :

Bisnis adalah suatu bentuk persaingan yang mengutamakan dan mendahulukan kepentingan ego-pribadi. Bisnis diperlakukan seperti permainan (game) yang aturannya sangat berbeda dari aturan yang ada dalam kehidupan sosial pada umumnya.

Orang yang mematuhi aturan moral dan ketanggapan sosial (sosial responsiveness) akan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan di tengah persaingan ketat yang tak mengenal “values” yang menghasilkan segala cara.

Kalau suatu praktek bisnis dibenarkan secara legal (karena sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan karena law enforcement-nya lemah), maka para penganut bisnis amoral itu justru menyatakan bahwa praktek bisnis itu secara “moral mereka” (kriteria atau ukuran mereka) dapat dibenarkan. Pembenaran diri itu merupakan sesuatu yang ”wajar’ menurut mereka. Bisnis amoral dalam dirinya meskipun ditutup-tutupi tidak mau menjadi “agen moral” karena mereka menganggap hal ini membuang-buang waktu, dan mematikan usaha mencapai laba.

      3.   Moral Manajemen
Tingkatan tertinggi dari penerapan nilai-nilai etika atau moralitas dalam bisnis adalah moral manajemen. Dalam moral manajemen, nilai-nilai etika dan moralitas diletakkan pada level standar tertinggi dari segala bentuk prilaku dan aktivitas bisnisnya. Manajer yang termasuk dalam tipe ini hanya menerima dan mematuhi aturan-aturan yang berlaku namun juga terbiasa meletakkan prinsip-prinsip etika dalam kepemimpinannya. Seorang manajer yang termasuk dalam tipe ini menginginkan keuntungan dalam bisnisnya, tapi hanya jika bisnis yang dijalankannya secara legal dan juga tidak melanggar etika yang ada dalam komunitas, seperti keadilan, kejujuran, dan semangat untuk mematuhi hukum yang berlaku. Hukum bagi mereka dilihat sebagai minimum etika yang harus mereka patuhi, sehingga aktifitas dan tujuan bisnisnya akan diarahkan untuk melebihi dari apa yang disebut sebagai tuntutan hukum. Manajer yang bermoral selalu melihat dan menggunakan prinsip-prinsip etika seperti, keadilan, kebenaran, dan aturan-aturan emas (golden rule) sebagai pedoman dalam segala keputusan bisnis yang diambilnya.

D.   Contoh Kasus Perusahaan Menerapkan Etika ke dalam Bisnis

Ketika itu perusahaan Merck and Company menangani masalah “river blindness”. River blindness adalah penyakit sangat tak tertahankan yang menjangkau 18 juta penduduk miskin di desa-desa terpencil di pinggiran sungai Afrika dan Amerika Latin.
Penyakit dengan penyebab cacing parasit ini berpindah dari tubuh melalui gigitan lalat hitam. Cacing ini hidup dibawah kulit manusia, dan bereproduksi dengan melepaskan jutaan keturunannya yang disebut microfilaria yang menyebar ke seluruh tubuh dengan bergerak-gerak di bawah kulit, meninggalkan bercak-bercak, menyebabkan lepuh-lepuh dan gatal yang amat sangat tak tertahankan, sehingga korban kadang-kadang memutuskan bunuh diri.

Pada tahun 1979, Dr. Wiliam Campbell, ilmuwan peneliti pada Merck and Company, perusahaan obat Amerika, menemukan bukti bahwa salah satu obat-obatan hewan yang terjual laris dari perusahaan itu, Invernectin, dapat menyembuhkan parasit penyebab river blindness. Campbell dan tim risetnya mengajukan permohonan kepada Direktur Merck, Dr. P. Roy Vagelos, agar mengijinkan mereka mengembangkan obat tersebut untuk manusia.

Para manajer Merck sadar bahwa kalau sukses mengembangkan obat tersebut, penderita river blindness terlalu miskin untuk membelinya. Padahal biaya riset medis dan tes klinis berskala besar untuk obat-obatan manusia dapat menghabiskan lebih dari 100 juta dollar.
Bahkan, kalau obat tersebut terdanai, tidak mungkin dapat mendistribusikannya, karena penderita tinggal di daerah terpencil. Kalau obat itu mengakibatkan efek samping, publisitas buruk akan berdampak pada penjualan obat Merck. Kalau obat murah tersedia, obat dapat diselundupkan ke pasar gelap dan dijual untuk hewan,sehingga menghancurkan penjualan Invernectin ke dokter hewan yang selama ini menguntungkan.
Meskipun Merck penjualannya mencapai $2 milyar per tahun, namun pendapatan bersihnya menurun akibat kenaikan biaya produksi, dan masalah lainnya, termasuk kongres USA yang siap mengesahkan Undang-Undang Regulasi Obat yang akhirnya akan berdampak pada pendapatan perusahaan. Karena itu, para manajer Merck enggan membiayai  proyek mahal yang menjanjikan sedikit keuntungan, seperti untuk river blindness. Namun tanpa obat, jutaan orang terpenjara dalam penderitaan menyakitkan. Setelah banyak dilakukan diskusi, sampai pada kesimpulan bahwa keuntungan manusiawi atas obat untuk river blindness terlalu signifikan untuk diabaikan. Keuntungan manusiawi inilah, secara moral perusahaan wajib mengenyampingkanbiaya dan imbal ekonomis yang kecil. Tahun 1980 disetujuilah anggaran besar untuk mengembangkan Invernectin versi manusia.
Tujuh tahun riset mahal dilakukan dengan banyak percobaan klinis, Merck berhasil membuat pil obat baru yang dimakan sekali setahun akan melenyapkan seluruh jejak parasit penyebab river blindness dan mencegah infeksi baru. Sayangnya tidak ada yang mau membeli obat ajaib tersebut, termasuk saran kepada WHO, pemerintah AS dan pemerintah negara-negara yang terjangkit penyakit tersebut, mau membeli untuk melindungi 85 juta orang beresiko terkena penyakit ini, tapi tak satupun menanggapi permohonan itu. Akhirnya Merck memutuskan memberikan secara gratis obat tersebut, namun tidak ada saluran distribusi untuk menyalurkan kepada penduduk yang memerlukan. Bekerjasama dengan WHO, perusahaan membiayai komite untuk mendistribusikan obat secara aman kepada negara dunia ketiga, dan memastikan obat tidak akan dialihkan ke pasar gelap dan menjualnya untuk hewan. Tahun 1996, komite mendistribusikan obat untuk jutaan orang, yang secara efektif mengubah hidup penderita dari penderitaan yang amat sangat, dan potensi kebutaan akibat penyakit tersebut. Merck menginvestasikan banyak uang untuk riset, membuat dan mendistribusikan obat yang tidak menghasilkan uang, karena menurut Vegalos pilihan etisnya adalah mengembangkannya, dan penduduk dunia ketiga akan mengingat bahwa Merck membantu mereka dan akan mengingat di masa yang akan datang. Selama bertahun-tahun perusahaan belajar bahwa tindakan semacam itu memiliki keuntungan strategis jangka panjang yang penting.

Sumber :

http://arsya-syasyo.blogspot.com/2011/09/pengertian-etika-bisnis-menurut-para.html diakses terakhir 08 Okt 2013

http://www.spocjournal.com/disertasi/251-bab-ii-tinjauan-pustaka-pengertian-etika-bisnis.html diakses terakhir 08 Okt 2013

http://bisnis.liputan6.com/read/655741/6-etika-bisnis-yang-harus-diketahui-profesional diakses terakhir 08 Okt 2013

http://adesyams.blogspot.com/2009/09/tentang-etika-bisnis.html diakses terakhir 08 Okt 2013

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Oktober 8, 2013 inci Tugas Softskill

 

Tinggalkan komentar